Penulis: admin

  • Kota Daerah Istimewa Yogyakarta

    Kota Daerah Istimewa Yogyakarta

    Kota Yogyakarta (bahasa Jawa: ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ, . Ngayogyakarta, pengucapan bahasa Jawa: [kuʈɔ ŋajogjɔˈkart̪ɔ], atau dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan nama Yogya atau Jogja) adalah ibu kota sekaligus pusat pemerintahan dan perekonomian dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kota ini adalah kota yang mempertahankan konsep tradisional dan budaya Jawa.

    Salah satu kemantren di Yogyakarta, yaitu Kotagede pernah menjadi pusat Kesultanan Mataram antara kurun tahun 1575–1640. Kini, Yogyakarta menjadi tempat tinggal dua penerus Mataram, yakni Sultan Hamengkubuwono dan Adipati Paku Alam, yang berada di Keraton Ngayogyakarta dan Pura Pakualaman.

    Etimologi

    Nama Yogyakarta berasal dari dua kata, yaitu Ayogya atau Ayodhya yang berarti “kedamaian” (atau tanpa perang, a “tidak”, yogya merujuk pada yodya atau yudha, yang berarti “perang”), dan Karta yang berarti “baik”. Ayodhya merupakan kota yang bersejarah di India di mana wiracarita Ramayana terjadi. Tapak Keraton Yogyakarta sendiri menurut babad (misalnya Babad Giyanti) dan leluri (riwayat oral) telah berupa sebuah dalem yang bernama Dalem Garjitawati; lalu dinamakan ulang oleh Susuhunan Pakubuwana II menjadi Dalem Ayogya

    Pusaka dan Identitas Daerah

    Tombak Kyai Wijoyo Mukti

    Tombak Kyai Wijoyo Mukti merupakan pusaka pemberian Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Tombak ini dibuat tahun 1921 semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Senjata yang sering dipergunakan para prajurit ini mempunyai panjang 3 meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan dhapur kudup gambir ini, landasannya sepanjang 2,5 meter terbuat dari kayu walikukun, yakni jenis kayu yang sudah lazim digunakan untuk gagang tombak dan sudah teruji kekerasan dan keliatannya.

    Sebelumnya tombak ini disimpan di bangsal Pracimosono dan sebelum diserahkan terlebih dahulu dijamasi oleh KRT. Hastono Negoro, di ndalem Yudonegaran. Pemberian nama Wijoyo Mukti baru dilakukan beberapa hari menjelang upacara penyerahan ke Pemkot Yogyakarta, pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah Kota Yogyakarta tanggal 7 Juni 2000. Upacara penyerahan dilakukan di halaman Balaikota dan pusaka ini dikawal khusus oleh prajurit Kraton ”Bregada Prajurit Mantrijero”.

    Tombak Kyai Wijoyo Mukti melambangkan kondisi Wijoyo Wijayanti. Artinya, kemenangan sejati pada masa depan, di mana seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan kesenangan lahir batin karena tercapainya tingkat kesejahteraan yang benar-benar merata.

    Identitas Daerah

    Sesuai dengan Keputusan Walikotamadya Yogyakarta Nomor 2 tahun 1998, pemerintah kota Yogyakarta menetapkan kelapa gading dan tekukur biasa sebagai flora dan fauna resmi kota Yogyakarta. Penetapan tersebut dilakukan dalam rangka menumbuhkan kebanggaan dan maskot daerah

    Tekukur

    Burung tekukur (Streptopelia chinensis) adalah jenis burung merpati kecil yang mempunyai paruh, berekor agak panjang, berdarah panas, dan bereproduksi dengan cara bertelur. Burung ini termasuk ke dalam genus streptopelia dari famili Columbidae.

    Tekukur yang memiliki suara merdu dan tubuh yang indah diyakini mampu memberikan suasana kedamaian bagi yang mendengar. Tekukur juga menjadi kesayangan para pangeran di lingkungan keraton

    Sejarah

    Masa awal

    Berdirinya kota Yogyakarta tidak lepas dari Perjanjian Giyanti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicolaas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mossel. Perjanjian tersebut berisi tentang pembagian wilayah Kesultanan Mataram, dimana wilayah Mataram bagian timur masih menjadi milik Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang kala itu dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III, dan bagian barat menjadi hak Pangeran Mangkubumi. Wilayah tersebut dibatasi oleh Sungai Opak. Pangeran Mangkubumi pun diakui menjadi Raja pada wilayah tersebut dengan Gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama “Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat”, sebulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.

    Pangeran Mangkubumi memilih wilayah Hutan Beringin (Pabringan), dimana pada wilayah tersebut terdapat sebuah desa bernama Pacethokan dan Pesanggrahan Garjitawati (Garjitawati) yang dibuat oleh Susuhunan Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi pun mengubah nama wilayah tersebut menjadi Ayodya. Setelah perubahan nama tersebut, Pangeran Mangkubumi segera memerintahkan kepada rakyat untuk membabat hutan tersebut agar dapat didirikan keraton. Calon keraton baru tersebut terletak di suatu kawasan di antara Kali Winongo dan Kali Code. Lokasi tersebut dinilai strategis dari sisi pertahanan dan keamanan. Sebelum pembangunan keraton selesai, pemerintahan sementara dipusatkan di daerah Gamping, tepatnya di Pesanggrahan Ambarketawang

    Pada tanggal 7 Oktober 1756, bangunan keraton selesai dibangun, sekaligus menjadi tanggal pemindahan pusat pemerintahan dari Gamping ke keraton baru, yang kelak bernama Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Peristiwa pemindahan pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta tersebut diperingati sebagai hari ulang tahun Kota Yogyakarta, sampai saat ini.

    Hari jadi tersebut diwujudkan pula dengan surya sengkala Dwi Naga Rasa Tunggal, yang memiliki nilai tahun 1756 Masehi. bermakna tentang kesatuan kegotong-royongan, serta kewibawaan, kesaktian, dan kesucian seorang raja atau pemimpin, dan sebagai tolak bala serta keyakinan akan keselamatan, ketentraman, dan harapan pencapaian kemakmuran sebuah kerajaan yang dibangun, Sengkalan tersebut juga ditandai dengan adanya sengkalan memet berbentuk relief dua ekor ular naga yang kini masih ada di Regol Gadhung

    Masa Hindia Belanda dan Inggris

    Ketika pemerintah Belanda datang menguasai Nusantara, wilayah Kesultanan Yogyakarta dijadikan keresidenan dengan ibu kota di Kabupaten Kota Kasultanan, maka dibuat kesepakatan birokrasi antara Belanda dengan Keraton. Dari keputusan tersebut, muncul Residen dan Patih untuk menjembatani birokrasi antara pihak Belanda dengan pihak Keraton. Fungsinya adalah sebagaimana kedutaan besar sekarang. Di antara keduanya, perlu menguasai bahasa Jawa dan Belanda.

    Danurejo I dipilih sebagai Patih pertama untuk tugas di Pemerintahan Hindia-Belanda dan J.M. van Rhijn sebagai Residen pertama untuk Yogyakarta. Posisi Residen disini setara dengan Patih, di mana ia harus mengabdi kepada raja. Resident memiliki loyalitas ganda kepada kompeni dan kepada rajanya, sebagaimana fungsi kerja Patih di Jawa. Residen Yogyakarta bertempat tinggal di Gedung Residen yang terletak di sisi barat Benteng Vredeburg, dimana kini dikenal sebagai Gedung Agung

    Kasultanan Yogyakarta diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda (termasuk pula Kabupaten Kasultanan) sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Pemerintahan tersebut diatur kontrak politik yang dilakukan pada tahun 1877, 1921, dan 1940. Selain itu, wilayah Kasultanan (yang kemudian terbagi menjadi Kasultanan dan Pakualaman pada tahun 1811) juga dimasukkan ke dalam sebuah wilayah otonomi vorstenlanden oleh Hindia Belanda, Bersama dengan Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta.

    Tahun 1811, Inggris menaklukkan Hindia Belanda. Di masa ini terjadi peristiwa Geger Sepoy, di mana pasukan Inggris dibantu dengan pasukan Sepoy dari India dan beberapa pasukan dari Mangkunegaran menyerang Keraton. Hasilnya, Pada tahun 1813, wilayah Yogyakarta kembali terpecah. Kali ini, berdiri sebuah kadipaten bernama Kadipaten Pakualaman yang didirikan oleh Pangeran Notokusumo yang diangkat oleh Inggris. Notokusumo sendiri adalah adik dari Sultan Hamengkubuwana II, dan kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Ia mendapatkan tanah dari Kesultanan meliputi sebuah kemantren di dalam kota Yogyakarta, berada di antara Kali Code dan Kali Manunggal. Di tanah tersebut kemudian didirikan istana Pura Pakualaman (sekarang menjadi wilayah kemantren Pakualaman). Inggris juga mengangkat Tan Jin Sing, kapitan Tionghoa yang berasal dari Kedu, sebagai Bupati Nayaka dalam Kabupaten Kota Yogyakarta dengan gelar KRT. Secodiningrat

    Yogyakarta juga menjadi pusat perkembangan kebangkitan nasional. Berlakunya politik etis di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 memunculkan tokoh-tokoh terpelajar yang berpengaruh terhadap pergerakan nasional saat itu. Mereka menjadikan Yogyakarta sebagai basis kegiatan tersebut. Salah satunya dengan diselenggarakannya kongres nasional Boedi Oetomo yang pertama pada tanggal 3-5 Oktober 1908 di gedung sekolah Kweekschool yang terletak di sekitar Jetis (kini menjadi gedung SMA Negeri 11 Yogyakarta). Selain itu, berdiri pula organisasi Muhammadiyah yang dibentuk oleh KH Ahmad Dahlan, penghulu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1912, yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan Islam.

    Masa Pendudukan Jepang

    pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka menempati gedung-gedung pemerintah yang semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas Kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan.

    Pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zimu Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang ditempatkan di Kotabaru dan di Benteng Vredeburg

    Masa Kemerdekaan

    yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia pada tahun 1946 hingga 1948, dilatarbelakangi oleh situasi keamanan ibu kota Jakarta (saat itu masih disebut Batavia) yang memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Alhasil, Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara. Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibu kota. Yogyakarta juga menjadi tempat terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949, serangan mempertahankan kemerdekaan yang dipimpin langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat itu.

    Pada tahun 1947, terbit Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947 pasal I yang menyatakan status Kotapraja Yogyakarta. Pasal tersebut menyebutkan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tanggal ditetapkannya undang-undang ini diperingati sebagai hari jadi pemerintahan Kota Yogyakarta setiap tahunnya

    Untuk melaksanakan otonomi tersebut, pemerintah mengangkat M. Enoch sebagai wali kota pertama. Pada awalnya, wali kota mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta

    Masa setelah Kemerdekaan

    Di era wali kota Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, Yogyakarta memiliki Badan Pemerintah Harian dan Badan Legislatif yang bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang, di mana badan tersebut dipimpin pula oleh wali kota. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.

    Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang tersebut mengatur pemisahan tugas Kepala Daerah dan DPRD, serta pembentukan Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian. sebutan Kota Praja Yogyakarta diganti dengan Kotamadya Yogyakarta

    Masa kini

    pada tahun 1999, terbitlah Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan berlakunya undang-undang tersebut, sebutan untuk Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta, sedangkan bentuk pemerintahannya disebut dengan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya

    Geografi

    Letak Kota Yogyakarta dilalui oleh tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Gajahwong dan Sungai Code. Sungai Winongo berada di bagian barat Kota Yogyakarta, sedangkan Sungai Gajahwong berada di bagian timur. Sementara Sungai Code berada di tengah Kota Yogyakarta. Keberadaan Sungai Code membelah Kota Yogyakarta menjadi dua bagian. Kota ini terletak pada jarak 600 KM dari Jakarta, 116 KM dari Semarang, dan 65 KM dari Surakarta, pada jalur persimpangan Bandung–Semarang–Surabaya–Pacitan. Kota ini memiliki ketinggian sekitar 112 m dpl.

    Meski terletak di lembah, kota ini jarang mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran air yang dikerjakan oleh Pemkot Yogyakarta.

    Tata Ruang Kota

    Sejak awal berdirinya, Yogyakarta telah memiliki penataan kota yang cukup baik. Arah perkembangan kota didasarkan pada Garis Imajiner Yogyakarta, yang membentang dari arah utara menuju ke selatan, satu garis lurus dengan keraton. Disini dibangun beberapa fasilitas umum seperti pasar, kantor pemerintahan, dan perkampungan abdi dalem yang dibedakan menjadi perkampungan jeron beteng (di dalam benteng baluwerti) dan jaba benteng (di luar benteng baluwarti).

    Kedatangan Belanda di Yogyakarta turut mewarnai penataan kota. Belanda membangun Benteng Vastenburg di sisi timur laut keraton pada 1767 (kemudian dikenal dengan Benteng Vredeburg), dilanjutkan dengan membangun beberapa fasilitas seperti gedung Nederlandsch-Indische Levensverzekeringen en Lijfrente Maatschappij atau NILLMIJ (kini menjadi gedung Bank BNI), gedung Post, Telegraaf en Telefoonkantoor (kini menjadi Kantor Pos Besar Yogyakarta), gedung De Javasche Bank (kini menjadi gedung Bank Indonesia Yogyakarta), dan Gedung Residen Yogyakarta (kini menjadi Istana Kepresidenan Gedung Agung) di sekitar garis imajiner tersebut

    Belanda juga mengatur beberapa pemukiman untuk masyarakat non-pribumi pada masa itu. Etnis Eropa tinggal di wilayah bernama loji kecil dan Bintaran yang terletak di sebelah timur benteng. Etnis Cina tinggal di kampung Ketandan yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono III. Perkampungan Ketandan terletak di sisi utara Pasar Besar (Pasar Beringharjo). Sedangkan etnis Arab tinggal di kampung Sayidan yang terletak di barat Sungai Code, di dekat Gondomanan. Berkembangnya penduduk etnis Eropa di Yogyakarta membuat Belanda kembali membangun kawasan pemukiman Eropa atas izin Sri Sultan Hamengkubuwono VII di timur Sungai Code, dekat Gondolayu. Pembangunan dimulai pada tahun 1917 dan selesai pada tahun 1922, di mana wilayah tersebut diberi nama Nieuwe Wijk. Pembangunan kawasan ini mengusung konsep kota taman (garden city) seperti halnya kawasan Menteng di Jakarta. Pada masa sekarang, kawasan tersebut menjadi wilayah dari kelurahan Kotabaru di kemantren Gondokusuman, serta menjadi kawasan cagar budaya.

    Kini, segala perencanaan penataan ruang kota dituangkan dalam Rencana Strategis yang disusun oleh Dinas Pertanahan dan Tata Ruang kota. Biasanya rencana-rencana strategis ini disusun untuk tiga bahkan lima tahun.

    Batas Wilayah

    Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan di sekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Meski begitu, Pemerintah kota Yogyakarta tetap membangun beberapa gapura batas kota dan memasang papan penanda batas wilayah kota Yogyakarta di perbatasan. Terdapat dua gapura kota Yogyakarta, yakni di Jalan Magelang (sisi utara) dan Jalan Adisucipto (sisi timur). Sedangkan di beberapa titik perbatasan dipasang papan penanda bertuliskan “Batas Wilayah Kota Yogyakarta”, serta lampu berbentuk wayang dengan tulisan “Jogja Berhati Nyaman”.

    Iklim & Cuaca

    Kota Yogyakarta memiliki iklim yang sama dengan wilayah lain di Indonesia yaitu beriklim tropis, dengan tipe iklim muson tropis (Am). Angin muson timur–tenggara yang bersifat kering dan dingin menyebabkan musim kemarau di wilayah Kota Yogyakarta dan angin muson ini berlangsung pada periode Mei hingga Oktober. Sementara itu, angin muson barat–barat daya yang bersifat lembab dan membawa banyak uap air menyebabkan musim penghujan di wilayah Kota Yogyakarta dan angin muson ini bertiup pada periode November hingga April. Rata-rata curah hujan di wilayah Kota Yogyakarta adalah ±2012 milimeter per tahun dengan jumlah hari hujan berkisar antara 100–150 hari hujan per tahunnya. Tingkat kelembaban rata-rata per tahun di wilayah ini adalah ±77%

    Pemerintahan

    Wali Kota

    Walikota Yogyakarta (bahasa Jawa: ꦮꦭꦶꦏꦸꦛꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ. Wali Kutha Ngayogyakarta) adalah pemimpin tertinggi di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Wali kota Yogyakarta bertanggungjawab kepada Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

    Saat ini, walikota atau kepala daerah yang menjabat di kota Yogyakarta adalah Singgih Raharjo, yang ditunjuk menjadi pelaksana tugas walikota Yogyakarta sejak 22 Mei 2023, menggantikan penjabat wali kota sebelumnya, Sumadi. Sedangkan jabatan wakil wali kota dikosongkan hingga Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.

    Dewan Perwakilan

    Yogyakarta menjadi salah satu kota pertama di Indonesia yang menyelenggarakan pemilihan umum untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat kotapraja. Pemilihan umum tersebut berlangsung sejak 16 Juli hingga 24 Desember 1951

    Kemantren

    Kota Yogyakarta memiliki 14 Kemantren dan 45 Kelurahan. Pada tahun 2017, jumlah penduduk mencapai 410.262 jiwa yang tersebar di wilayah seluas 32,50 km² dengan tingkat kepadatan penduduk 12.623 jiwa/km²

    Demografi

    Kependudukan

    Jumlah penduduk Kota Yogyakarta, berdasar Sensus Penduduk 2010 berjumlah 388.088 jiwa, dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang hampir setara. Sementara pada pertengahan tahun 2024, jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 415.021 jiwa.

    Jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, kota Yogyakarta menjadi kota terpadat ke-6 di Indonesia, dengan luas wilayah terkecil ke-6, dan populasi terbanyak ke-38 dari 93 kota otonom dan 5 kota administratif di Indonesia.

    Kepadatan penduduk tertinggi di kota Yogyakarta terdapat di Kemantren Ngampilan dengan kepadatan 18.729 jiwa/km², sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di Kemantren Umbulharjo dengan kepadatan 8.395 jiwa/km²

    Kota satelit

    Yogyakarta memiliki wilayah penyangga urban bernama Kartamantul, yang merupakan akronim dari Yogyakarta, Sleman, dan Bantul dengan wilayah utama berada di Kapanewon Depok, Mlati, Gamping dan Ngaglik di Kabupaten Sleman dan Kapanewon Sewon, Banguntapan dan Kasihan di Kabupaten Bantul. Dengan luas wilayah 1.114,15 km², wilayah metropolitan Yogyakarta memiliki total jumlah penduduk lebih dari 2.4 juta jiwa.

    Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Surat Keputusan Gubernur No.163/KEP/2017 menyatakan pembentukan sekretariat bersama Kartamantul, dengan tujuan untuk mempermudah sinergi kerjasama antar ketiga wilayah dalam hal sampah, pengolahan limbah, drainase, jalan, transportasi, dan air bersih

    Agama

    Islam adalah agama mayoritas yang dianut masyarakat Kota Yogyakarta yakni sebanyak 83,71%, dengan jumlah penganut Kristen yang relatif signifikan yakni 15,91% (Katolik 9,68% dan Protestan 6,23%). Sebagian kecil lagi adalah pemeluk agama Buddha yakni 0,26%, kemudian Hindu 0,11% dan Konghucu 0,01%

    Sejak awal berdirinya, Yogyakarta sudah menjadi kota majemuk yang dihuni oleh beberapa etnis dan agama. Tercatat beberapa tempat ibadah yang sudah berdiri sejak dahulu, seperti Masjid Gede Kauman, Masjid Syuhada, Masjid Mataram Kotagede, Gereja HKBP, Gereja Kotabaru, Klenteng Tjen Ling Kiong, dan Kelenteng Fuk Ling Miau.

    Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta.

    Bahasa

    Kota Yogyakarta menjadi salah satu pusat pelestarian Budaya Jawa, khususnya gaya Yogyakarta. Budaya Jawa gaya Yogyakarta memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan gaya kebudayaan Jawa di daerah lainnya. Hal ini dikarenakan keberadaan Kesultanan Yogyakarta yang memilih untuk mempertahankan budaya Jawa murni yang telah ada sejak masa Kesultanan Mataram pada Perjanjian Jatisari.

    Tarian

    Tarian khas Yogyakarta berkembang dari dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Puro Pakualaman, dimana kedua keraton memiliki beberapa tarian Srimpi dan Bedaya sesuai dengan pakem masing-masing. Salah satu tarian yang dikenal oleh masyarakat adalah tari Beksan Lawung Ageng. Beksan Lawung Ageng adalah salah satu tarian pusaka Keraton Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, dan biasanya dipentaskan pada ritual kenegaraan. Tarian ini menggambarkan adu ketangkasan prajurit bertombak.

    Batik

    Batik gaya Yogyakarta memiliki ciri khas pada warna dasaran atau latar belakang putih atau hitam. Batik Yogyakarta juga dapat dilihat dari seret atau bagian putih di pinggir kain batik  Adapun motif batik yang berkembang di Yogyakarta, seperti motif Parang dan Kawung.

    Pakaian adat

    Surjan adalah salah satu pakaian adat Yogyakarta yang dikenakan untuk kegiatan sehari-hari. Masyarakat Yogyakarta biasanya melengkapi pakaian Surjan dengan mengenakan penutup kepala yang disebut Blangkon.

    Blangkon gaya Yogyakarta memiliki ciri khas berupa mondolan (tonjolan di belakang) yang membulat. Mondolan tersebut pada awalnya adalah rambut masyarakat yang digulung ke dalam, mengingat pada saat itu masyarakat sekitar Keraton Yogyakarta masih memanjangkan rambutnya.

    Perayaan

    Perayaan dan upacara adat di kota Yogyakarta biasanya diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Beberapa perayaan tersebut antara lain:

    • Sekaten

    Sekaten adalah pergelaran rangkaian kegiatan tahunan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta. Rangkaian perayaan secara resmi berlangsung dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud penanggalan Jawa (dapat disetarakan dengan Rabiul Awal penanggalan Hijriah). Biasanya pergelaran ini dimeriahkan dengan pasar malam, dan memainkannya gamelan pusaka (miyos gongso) di halaman Masjid Agung.

    • Hajad Dalem Mubeng Beteng

    Mubeng Beteng atau Tapa Bisu adalah tradisi yang dilakukan oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta dan masyarakat dalam menyambut tahun baru Hijriyah. Tradisi ini dilakukan dalam bentuk jalan kaki bersama mengitari Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta pada malam hari sambil membisu sebagai sarana merefleksikan diri dalam keheningan.

    Tradisi mubeng beteng diilhami dari tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram yang saat itu beribukota di Kotagede membangun benteng mengelilingi kerajaan atau keraton yang kemudian selesai pada tanggal 1 Suro 1580 Masehi. Setelah itu para prajurit rutin mengelilingi benteng untuk menjaga dari ancaman musuh. Setelah dibangunnya parit, tugas berkeliling digantikan oleh abdi dalem agar tidak terkesan seperti militer. Para abdi berkeliling dengan membisu sambil membacakan doa-doa dalam hati agar mereka diberi keselamatan

    Biasanya tradisi ini diawali pada pukul 20.00 dengan serangkaian acara seperti tahlilan, pembagian makanan berkah, tembangan macapat hingga prosesi mubeng beteng dilakukan tepat pukul 00.00 WIB

    • Grebeg

    Grebeg atau Grebeg merupakan tradisi yang rutin diselenggarakan oleh masyarakat Jawa untuk memperingati peristiwa penting. Dalam acara grebeg, biasanya dilakukan pembagian gunungan sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa.

    Di Yogyakarta, grebeg dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam setahun, yakni pada bulan Rabiul Awal (Maulid), Syawal, dan Dzulhijjah (Besar). pembagian gunungan bertempat di tiga titik, seperti Masjid Gedhe Kauman, Kepatihan, dan Pura Pakualaman.

    • Ganti Dwaja Bregada Jaga

    Upacara ini diselenggarakan oleh Kadipaten Pakualaman, yang menandai pergantian penjaga Pura Pakualaman. Pura Pakualaman memiliki dua bregada yang masing-masing saling bergiliran pada hari sabtu kliwon setiap bulannya.

    Sebelumnya upacara ini dilakukan tertutup di kalangan intern Pakualaman, namun saat ini Kadipaten Pakualaman membuat upacara tersebut dapat dinikmati oleh kalangan umum dengan tujuan mendekatkan Pura Pakualaman kepada masyarakat

    Garis imajiner kota

    Yogyakarta memiliki garis imajiner khusus yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Laut Selatan, di mana hubungan antara ketiga tempat tersebut ditandai dengan Tugu Yogyakarta di bagian utara dan Panggung Krapyak di bagian selatan. Garis imajiner ini menjadi ciri khas Kota Yogyakarta dibandingkan wilayah lain, sekaligus menjadi titik awal perkembangan perkotaan Yogyakarta, di mana Keraton membangun beberapa fasilitas fisik di ruas ini seperti Pasar Beringharjo, Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, dan Masjid Gedhe Kauman.

    Garis imajiner tersebut dirancang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I ketika membangun Keraton di antara Sungai Code dan Sungai Winongo. Garis imajiner memiliki filosofi tentang hubungan manusia kepada Sang Pencipta. Laut Selatan yang merupakan titik terendah dan Gunung Merapi yang lebih tinggi melambangkan sikap manusia yang semakin dekat dengan Sang Pencipta seiring berjalannya waktu.

    Budaya populer

    Kota Yogyakarta menjadi inspirasi bagi Ismail Marzuki untuk menciptakan lagu Sepasang Mata Bola pada tahun 1946. Lagu tersebut menceritakan suasana senja di Stasiun Yogyakarta. Ada pula lagu Yogyakarta, lagu yang diciptakan oleh Katon Bagaskara pada tahun 1990 dalam album Kedua. Lagu tersebut menceritakan suasana Yogyakarta yang hangat dan ramah.

    Beberapa film yang mengangkat tema Yogyakarta antara lain Jagad X Code (2009), Sang Pencerah (2010).

    Pariwisata

    Pariwisata merupakan salah satu sektor penting di Kota Yogyakarta. Sejak dahulu, Kota Yogyakarta menjadi salah satu tujuan wisata utama di Indonesia dan menjadi andalan pariwisata Indonesia, bersama dengan Bali. Pada Januari 2022, tercatat 780.000 wisatawan berkunjung ke Kota Yogyakarta

    Wisata sejarah, edukasi dan budaya

    Posisi Kota Yogyakarta sebagai ibu kota Kesultanan Yogyakarta menjadikan kota ini memiliki banyak tempat bersejarah yang menjadi objek wisata seperti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Taman Sari, Malioboro, Alun-alun Selatan, Situs Warungboto, Pura Pakualaman, Benteng Vredeburg, Kawasan Kotabaru, Keraton Kotagede dan lain sebagainya. Yogyakarta juga memiliki beberapa objek wisata edukasi, seperti Taman Pintar, Museum Sonobudoyo, Museum Biologi, Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman, Museum Perjuangan, dan lain sebagainya.

    Yogyakarta juga memiliki kebun binatang bernama Kebun Binatang Gembira Loka, yang menjadi sentra wisata edukasi keanekaragaman hayati. Kebun binatang ini memiliki beberapa jenis hewan dan tumbuhan dari berbagai belahan dunia.

    Kampung wisata

    Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pariwisata juga memberdayakan beberapa kampung wisata di setiap kemantren di wilayah Kota Yogyakarta. Bahkan, tiap kampung wisata memiliki identitas yang berbeda-beda, seperti kampung wisata di Kelurahan Tahunan yang berfokus kepada wisata industri kreatif, kampung wisata Dipowinatan yang berfokus kepada wisata kebudayaan, dan kampung wisata Kauman yang berfokus pada wisata religi dan sejarah

    Festival

    Sebagai kota pariwisata dan kebudayaan, Yogyakarta memiliki banyak pergelaran festival guna menarik wisatawan, sekaligus menjadi agenda rutin setiap tahunnya. Pergelaran yang rutin digelar di Kota Yogyakarta, seperti :

    • Pasar Kangen

    Pasar Kangen Yogyakarta adalah agenda rutin tahunan yang digelar oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival ini diselenggarakan sejak tahun 2007 yang dikemas dengan nuansa klasik tempo dahulu.

    • Jogja Night Carnival

    Jogja Night Carnival merupakan agenda rutin tahunan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun Kota Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober. Biasanya pergelaran ini menyajikan aksi karnaval jalanan yang menampilkan tokoh-tokoh wayang dikombinasikan dengan lakon pewayangan dibalut dalam seni koreografi, busana serta musik kontemporer.

    • Selasa Wagen

    Pergelaran selasa wagen rutin diselenggarakan setiap hari selasa wage dalam penanggalan Jawa di kawasan Malioboro, di mana kawasan Malioboro dijadikan sebagai kawasan bebas kendaraan bermotor mulai dari jam 06.00 pagi hingga jam 21.00 malam. Selama waktu tersebut, diselenggarakan beberapa pementasan kebudayaan Yogyakarta Dalam mitos Jawa, selasa wage adalah hari di mana manusia beristirahat dari aktivitas sehari-hari. Selasa wage juga menjadi hari Miyos Dalem atau hari kelahiran Sultan Hamengkubuwono X, raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini.

    • Festival Kesenian Yogyakarta

    Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Juni atau Juli setiap tahunnya. Festival ini diselenggarakan sejak tahun 1989, dan melibatkan seluruh kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk kota Yogyakarta.

    Di kota Yogyakarta, acara berpusat di Benteng Vredeburg, Jalan Malioboro, Taman Budaya Yogyakarta, Monumen Serangan Umum 1 Maret dan kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

    • Festival Kotagede

    Festival Kotagede rutin diselenggarakan sejak tahun 1999, dan diadakan untuk pengembangan seni budaya, peningkatan ekonomi masyarakat setempat, dan peningkatan pariwisata yang ada di daerah Kotagede. Festival ini diadakan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan melibatkan dua wilayah yang termasuk dalam kawasan cagar budaya Kotagede, yakni Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul

    Wisata ramah pejalan kaki

    Yogyakarta juga memiliki beberapa kawasan khusus untuk wisata pejalan kaki. Penataan kawasan wisata khusus pejalan kaki dimulai di jalan Malioboro pada tahun 2016 hingga 2018, kemudian dilanjutkan dengan penataan kawasan khusus pejalan kaki di sekitar Kotabaru dan Jalan Jenderal Sudirman pada 2019 hingga 2021

    Julukan

    Kota Yogyakarta memiliki beberapa julukan, antara lain :

    • Kota Perjuangan

    Yogyakarta dijuluki sebagai kota perjuangan, karena beberapa peristiwa perjuangan pergerakan nasional Indonesia terjadi di kota ini, seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Pertempuran Kotabaru.

    • Kota Pelajar

    Hampir 20% penduduk produktif kota Yogyakarta adalah pelajar, dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini juga diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

    • Kota Gudeg

    Gudeg adalah makanan khas berbahan nangka muda dari Kota Yogyakarta. Gudeg asli Yogyakarta memiliki citarasa khas berupa rasa manis dan bertekstur kering.

    • Kota Wisata

    Yogyakarta dijuluki kota wisata karena tingginya angka jumlah wisatawan dari tahun ke tahun, serta memiliki banyak tempat wisata menarik dari sisi sejarah, budaya, dan pendidikan.

    • Kota Murah Meriah

    Kota Yogyakarta dikenal dengan biaya hidupnya yang murah dibandingkan dengan kota lain di Indonesia.

    • Kota Berhati Nyaman

    Berhati Nyaman adalah slogan resmi Kota Yogyakarta, yang berasal dari akronim kata BERsih, seHAT, Indah dan NYAMAN.

    • Kota Kedai Kopi

    Kota Yogyakarta juga terkenal dengan wisata malam angkringan dan kedai kopi, tercatat ribuan kedai kopi ada di kota ini, jumlahnya paling padat se-Indonesia, valuasi nya pun mencapai ratusan miliar per tahun.

    Kuliner khas

    Masyarakat Yogyakarta memiliki tradisi pawon anget, yang secara harfiah berarti “dapur hangat”. Filosofi dari tradisi tersebut adalah, kebersamaan di rumah menikmati apa yang ada amat diutamakan. Seorang istri dan ibu dituntut untuk memasak lebih dari satu menu demi dapat berhimpunnya seluruh anggota keluarga di meja makan.

    Tradisi ini merupakan perlawanan halus Sultan Hamengkubuwana I terhadap VOC setelah Perjanjian Giyanti. Dari tradisi pawon anget inilah, muncul beberapa kuliner khas Yogyakarta yang ada hingga saat ini. Salah satu kuliner yang sudah akrab di masyarakat umum adalah Gudeg, sajian dari nangka muda yang dimasak dengan santan. Gudeg biasanya dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tempe, tahu dan sambal goreng krecek. Di Kota Yogyakarta, gudeg dapat dijumpai di setiap sudut kota. Salah satu sentra kuliner gudeg di Yogyakarta adalah Jalan Wijilan, yang masih berada di dalam komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ada pula Brongkos, makanan berupa sayur kuah hitam berkat keluak yang berisi daging sapi, kacang beras (tolo), tahu, dan tempe, dan Bakpia, kue yang dibuat dari gulungan tepung panggang dengan berbagai isi. Di Kota Yogyakarta, sentra kuliner bakpia terletak di wilayah pasar Pathuk dan Jalan KS Tubun, Kemantren Ngampilan.

    Makanan khas Kota Yogyakarta yang lainnya, seperti Nasi kucing (nasi porsi kecil dengan sambal, ikan, dan tempe, lalu dibungkus daun pisang), Sate Kere (sate yang dibuat dari gajih sapi), dan lain sebagainya.

    Sementara minuman yang berasal dari Yogyakarta antara lain Kopi Joss (kopi hitam yang dicampur dengan arang), Wedang Ronde (minuman yang disajikan dengan bola-bola dari tepung ketan), dan lain sebagainya.

    Angkringan

    Angkringan adalah sebuah gerobak dorong untuk menjual berbagai macam makanan dan minuman dengan harga yang sangat terjangkau.

    Di Kota Yogyakarta, angkringan dapat ditemui dengan mudah. Biasanya pedagang angkringan akan membuka dagangannya pada sore hari, dan tutup menjelang dini hari.

    Transportasi

    Kota Yogyakarta sangat strategis karena merupakan pertemuan antara jalur tengah–selatan Jawa dan Semarang–Yogyakarta. Oleh karena itu, angkutan di Yogyakarta cukup memadai untuk memudahkan mobilitas antara kota-kota tersebut. Kota ini mudah dicapai oleh transportasi darat dan udara, sedangkan karena lokasinya yang cukup jauh dari laut (27–30 KM) menyebabkan adanya transportasi air di kota ini.

  • Sejarah Kota Bandung

    Sejarah Kota Bandung

    sejarah Kota Bandung secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Kolonial portugis, pada abad ke-7. Kota Bandung didirikan oleh dan atas kehendak (kebijakan) Bupati Bandung ke-9 R.A. Wiranatakusumah (1794-1829).Akan tetapi proses pendiriannya dipercepat oleh pemerintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36, Herman Willem Daendels (1808-1811) dengan surat keputusan (besluit) pada tanggal 25 September 1810, sehingga tanggal 25 September dianggap sebagai hari jadi Kota Bandung”

    Bandung Purba

    Pada Zaman Tersier Kala Oligosen (27 juta tahun yang lalu), pulau Jawa sekarang ini masih merupakan bagian dari laut dangkal yang memanjang dari Rajamandala hingga Pelabuhan Ratu. Bukti mengenai hal ini adalah ditemukannya terumbu karang purbakala di perbukitan kapur kawasan karst Citatah, Rajamandala. Proses pengangkatan kerak bumi selama jutaan tahun membentuk lipatan, patahan, dan retakan, sehingga pantai utara Pulau Jawa berada di titik Pangalengan. Bukit-bukit kapur yang terangkat itu juga mengalami proses pelarutan dan karstifikasi, sehingga terbentuk saluran-saluran air yang terus membesar menjadi sungai bawah tanah dan goa-goa, antara lain Gua Sanghyang Poek, Gua Bencana dan Gua Pawon.

    Sekitar empat juta tahun lalu (Kala Pliosen) terjadi aktivitas vulkanik di selatan Cimahi. Di tempat itu muncul beberapa gunung seperti Gunung Lagadar, Gunung Selacau, Gunung Lalakon, Gunung Paseban, Gunung Singa, Gunung Pasir Pancir dan lain-lain.

    Lama kelamaan, aktivitas vulkanik bergeser ke arah utara. Pada Kala Pleistosen Akhir (sekitar 500.000 tahun yang lalu), Gunung Sunda purba di bagian utara Bandung sekarang meletus berkali-kali, sehingga mengambrukkan tubuhnya dan membentuk Kaldera Sunda yang dipagari jajaran perbukitan di Bandung Utara dan Timur. Bentukan alam inilah yang merupakan cikal bakal wilayah Cekungan Bandung sekarang. Pada kala yang sama terjadi Patahan Lembang yang memanjang dari arah barat (Cisarua, Lembang) ke timur (Gunung Manglayang).

    Sekitar 125.000 tahun yang lalu terjadi letusan Gunung Tangkuban Parahu berkali-kali. Material letusannya sebagian mengisi Patahan Lembang, dan sebagian lagi membendung sungai Citarum purba di utara Padalarang sehingga terbentuklah Situ Hyang atau Danau Bandung Purba di Cekungan Bandung yang terbentang dari Cicalengka di timur sampai Padalarang di barat dan dari Bukit Dago di utara sampai Soreang di selatan.

    Letusan berikutnya terjadi sekitar 55.000 tahun yang lalu, material letusannya mengalir ke selatan, menutupi wilayah yang sangat luas dan memisahkan Danau Purba Bandung menjadi dua bagian, yaitu Danau Bandung Purba Barat dan Danau Bandung Purba Timur.

    Pada saat Bandung menjadi danau yang sangat besar, air genangannya mulai mengikis tebing di perbukitan sisi barat. Gempa bumi di jalur patahan yang yang banyak mengiris Cekungan Bandung telah memberikan jalan bagi air untuk membobol Danau Bandung Purba. Pelepasan air danau terjadi pada saat memasuki celah-celah antara Pasir Kiara dan Pasir Larang hingga akhirnya Situ Hyang menyusut di suatu lembah sempit yang dikenal dengan sebutan Cukang Rahong untuk Danau Bandung Purba Barat, dan Curug Jompong untuk Danau Bandung Purba Timur

    Manusia Purba Cekungan Bandung

    Cekungan Bandung sudah dihuni oleh manusia sekurang-kurangnya sejak 9000 tahun yang lalu. Pada akhir tahun 2003, ditemukan empat fosil kerangka utuh manusia purba jenis Homo sapiens di Gua Pawon (utara Padalarang), yang diperkirakan berusia 9000 tahun.

    Gua Pawon merupakan gua pertama di Pulau Jawa bagian barat, sebagai tempat ditemukannya kerangka manusia prasejarah. Menurut arkeolog Prancis, Jean-Christophe Galipaude (Agustus 2009), kerangka ini sangat mungkin merupakan kerangka manusia tertua yang pernah ditemukan di Indonesia bagian barat. Di Gua Pawon ditemukan juga 22.000 artefak berupa gelang-gelang dari batu gelas (obsidian), kapak, dan aneka peralatan dari batu obsidian. Goa itu diperkirakan menjadi tempat tinggal sekaligus pekuburan manusia purba.

    Selain di wilayah barat (Gua Pawon), permukiman manusia Purba di sekitar Cekungan Bandung juga terdapat di wilayah utara, timur laut dan selatan Cekungan Bandung. Hal ini dibuktikan dengan penemuan berbagai artefak purba, seperti kapak, mata panah dan mata tombak yang terbuat dari obsidian, mata tombak perunggu, cetakan tanah liat untuk pengecoran dan pecahan keramik tembikar purba. Artefak-artefak itu ditemukan antara lain di Dago Pakar, Pasir Kiara Janggot, Pasir Panyandaan, Darmaga, Gunung Singa dan Gunung Sadu

    Era Kerajaan Pajajaran

    Kerajaan pertama di Jawa Barat yaitu Kerajaan Tarumanagara yang menguasai wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Raja Tarumanagara, Sri Maharaja Purnawarman (395-434) berhasil menguasai seluruh wilayah Jawa Barat.

    Pada tahun 669 M, Sri Maharaja Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, menggantikan tahta mertuanya yaitu Linggawarman, raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, Tarusbawa ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di Sundapura (kota Sunda) bekas ibu kota Tarumanagara. Pada tahun 670 M, Tarusbawa mengganti nama Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda.

    Wretikandayun, raja pertama di Kerajaan Galuh yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Tarumanagara, tidak menyetujui penggantian tersebut. Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanegara dipecah dua. Untuk menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Pada tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya. Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di Pakuan (sekarang Bogor), sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah Kawali (sekarang Ciamis).

    Raja Galuh, Prabu Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (1482-1521) berhasil menyatukan kembali kerajaan Galuh dan Sunda menjadi Kerajaan Sunda Galuh yang beribu kota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran. Lokasinya berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibukotanya sehingga Kerajaan Sunda Galuh sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.

    Pada tahun 1579, kerajaan Pajajaran ditaklukkan oleh Kesultanan Banten di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin (1552-1570). sejak itu, Kerajaan Sumedang Larang (didirikan oleh Prabu Tajimalela) menjadi penerus kerajaan Pajajaran. Ketika itu Sumedang Larang diperintah oleh Prabu Geusan Ulun (1579-1601). Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pajajaran (seluruh Tatar Sunda kecuali Banten, Cirebon dan Galuh), dengan pusat pemerintahan di Kutamaya (suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang). Pada waktu itu, wilayah yang sekarang ditempati Kota Bandung merupakan wilayah yang disebut Ukur atau Tatar Ukur, yang merupakan bagian dari Kerajaan Timbanganten, suatu kerajaan di bawah kekuasaan kerajaan Sumedang Larang.

    Kerajaan Sumedang Larang berambisi untuk membangun kembali kejayaan Kerajaan Sunda, tetapi kekuatannya melemah setelah berperang dengan Kesultanan Cirebon. Selain ancaman dari Kesultanan Cirebon dari arah timur, posisi Sumedang Larang juga terancam oleh Kesultanan Banten dari arah barat.

    Era Kesultanan Mataram

    Di bawah kepemimpinan Sultan Agung (1613-1645), Kesultanan Mataram mencapai masa-masa keemasan. Pada awal abad ke-17, Mataram di sudah menjadi kerajaan yang besar dan kuat di Jawa dan Nusantara pada saat itu. Namun di pantai barat pulau Jawa terdapat kekuatan yang belum berhasil ditaklukkan Mataram, yaitu Kesultanan Banten.

    Pada tahun 1619, Perusahaan Dagang Belanda di Hindia Timur (Verenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) yang sebelumnya berkedudukan di Ambon berhasil merebut Jayakarta di bagian barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, kemudian mengganti namanya menjadi Batavia dan bermarkas di sana. Adanya VOC di Batavia mempersulit Mataram untuk menaklukkan Banten.

    Sumedang Larang, yang pada waktu itu diperintah oleh Raden Suriadiwangsa (1601–1625) atau yang dijuluki Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga Gempol I), anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, merasa khawatir terhadap ancaman ekspansi Kesultanan Banten ke arah timur dalam rangka menguasai wilayah bekas Pajajaran. Hal itu mendorong Suriadiwangsa berangkat ke Mataram untuk meminta perlindungan. Pada tahun 1620, Sumedang Larang bergabung dengan kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung. Sultan Agung mengganti nama Sumedang Larang menjadi Priangan yang terdiri dari wilayah Sumedang Larang, Pamanukan, Ciasem, Kawung Sukapura, Ukur (Bandung), Limbangan dan Cianjur. Daerah Priangan menjadi Kabupaten Wedana yang diawasi oleh Bupati Wedana (Kepala Bupati), dan Pangeran Suriadiwangsa menjadi Bupati Sumedang yang pertama merangkap Bupati Wedana Priangan (1620-1625).

    Pada tahun 1624 Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol untuk merebut wilayah Sampang di Madura. Setelah berhasil menaklukkan Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata wafat di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada saudaranya, Rangga Gede (1625-1633).

    Ketika sebagian pasukan Kabupaten Sumedang Larang berangkat ke Sampang, pasukan Kesultanan Banten menyerang Kabupaten Sumedang. Rangga Gede tidak sanggup membendung serangan itu dan melarikan diri. Sultan Agung murka dan menilai bahwa Pangeran Rangga Gede tidak mampu mengendalikan pemerintahan. Sebagai sanksinya, pangkat Bupati Wedana Pangeran Rangga Gede dicopot, dan Rangga Gede ditawan di Mataram. Sebagai penggantinya, pangkat Bupati Wedana Priangan diberikan kepada Dipati Ukur.

    Kabupaten Bandung

    Sejak penahanan terhadap Dipati Rangga Gede, bupati wedana yang mengawasi daerah Priangan adalah Dipati Ukur (1625-1629), yang berasal dari Tatar Ukur (VOC pada tahun 1629 sudah mencatat nama Sumedang dan Ukur sebagai bagian dari daerah Priangan dan tahun 1640-an menyebut daerah Ukur sebagai Nagorij Bandong dan kemudian West Oedjoeng Beroeng, sedangkan masyarakat Sunda menyebutnya Tatar Ukur

    Pada tahun 1628, Sultan Agung memerintahkan agar Dipati Ukur bersama-sama dengan pasukan Mataram menyerang VOC di Batavia. Kurangnya kerjasama menyebabkan serangan itu mengalami kegagalan. Dalam serangan kedua (1629), Dipati Ukur menolak ikut serta. Kegagalan serangan pertama ditambah keengganan Dipati Ukur turut serta dalam serangan kedua membuat Mataram menilai tindakan tersebut patut diberi hukuman. Dipati Ukur dipanggil ke Mataram, namun dia tidak memenuhi panggilan tersebut. Bersama pasukannya, dia tetap tinggal di ibu kota Ukir yang terletak di Gunung Lumbung (sekarang Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung) sambil mengantisipasi kedatangan pasukan Mataram. Tindakan ini dianggap Mataram sebagai pemberontakan yang harus ditumpas. Setelah terjadi beberapa kali pertempuran, pada tahun 1632 Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung dan akhirnya dihukum pancung di Mataram.

    Pada saat Sumedang dipimpin oleh putera Rangga Gede yang bernama Raden Bagus Weruh atau sering disebut juga Pangeran Dipati Rangga Gempol II (1633-1656), Mataram mengadakan reorganisasi untuk menata kembali wilayah Priangan. Hal ini tertuang dalam Serat Piagem (Surat Keputusan) Sultan Agung pada tanggal 9 Muharam tahun Alip (bertepatan dengan tanggal 20 April 1641), yang berisi pembentukan tiga kabupaten baru berikut pengangkatan bupatinya. Dengan demikian, di bekas kerajaan Sumedang Larang terdapat empat kabupaten termasuk bupatinya, yaitu Sumedang (Rangga Gempol II), Sukapura (Tumenggung Wiradadaha), Bandung (Tumenggung Wiraangunangun) dan Parakanmuncang (Tumenggung Tanubaya).Berdasarkan keputusan tersebut, tanggal 20 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Bandung.

    Rangga Gempol II merasa kecewa atas kebijakan Sultan Agung tersebut, sebab wilayah kekuasaan Sumedang menjadi berkurang. Kekecewaan ini makin bertambah ketika Sultan Agung digantikan oleh putranya, Sunan Amangkurat I. Amangkurat I mengeluarkan dua kebijakan penting terkait wilayah Priangan. Pertama, Jabatan Bupati Wedana dihapuskan. Kedua, wilayah Mataram Barat dibagi menjadi 12 ajeg (setara dengan kabupaten). Dengan begitu, kedudukan Bupati Sumedang menjadi setara dengan bupati-bupati lain, dan wilayah kekuasaan Sumedang menjadi lebih kecil lagi. Sebagai protes atas kebijakan tersebut, Rangga Gempol mengundurkan diri sebagai bupati, dan sebagai penggantinya ditunjuk puteranya, Rangga Gempol III yang bergelar Pangeran Panembahan (1656-1705).

    Tumenggung Wiraangunangun memerintah di Kabupaten Bandung antara 1641-1681. Wilayah pemerintahannya meliputi beberapa wilayah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan, Sagalaherang, dan sebagian Tanah Medang. Hingga berakhirnya kekuasaan VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribu kota di Krapyak, yang sekarang bernama Citeureup, suatu wilayah di dekat Sungai Citarum, di sekitar Dayeuh Kolot. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun-temurun oleh enam orang bupati.

    Setelah Sultan Agung meninggal dunia pada tahun 1645, Mataram berangsur-angsur menjadi lemah akibat kemelut internal yang berlarut-larut dalam kerajaan dan serangan dari luar. VOC campur-tangan dalam kemelut ini sehingga sedikit demi sedikit wilayah Mataram jatuh ke dalam kekuasaan VOC. VOC memperoleh wilayah Priangan Barat dari Mataram (Sultan Amangkurat II) dalam Perjanjian 19-20 Oktober 1677 sebagai imbalan atas bantuan VOC memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Sedangkan wilayah Priangan Timur dan Cirebon diserahkan Mataram kepada VOC dalam Perjanjian 5 Oktober 1705 sebagai imbalan dari Pangeran Puger (Pakubuwono I) karena membantu merebut tahta Mataram dari Sunan Mas (Amangkurat III).

    Di bawah kekuasaan VOC, Bupati Bandung dan bupati-bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan VOC. Sistem pemerintahan kabupaten tidak mengalami perubahan, namun VOC menuntut agar para bupati mengakui kekuasaan VOC, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu secara eksklusif kepada VOC. Sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan, VOC mengangkat Pangeran Arya Cirebon.

    Tanam Paksa Kopi di Priangan

    Budidaya kopi di Jawa untuk keperluan pemasaran di pasaran dunia sudah dimulai sejak awal abad ke-18. Pada waktu itu, VOC menjelajah mencari barang-barang kolonial di berbagai bagian kepulauan Nusantara. Tanaman kopi yang didatangkan dari India Selatan ternyata dapat tumbuh baik di daerah pedalaman markas besar kolonial yang berbukit-bukit. Para pedagang VOC itu mendorong budidaya tanaman asing ini. Pada mulanya mereka memborong hasil panen masyarakat petani, tetapi apa yang awalnya bersifat sebagai transaksi komersial segera berubah menjadi penyetoran kopi secara paksa dengan harga yang jauh di bawah harga pasar.

    Tanam paksa kopi di Priangan (Preanger Stelsel) terjadi pada kurun waktu 1720-1830, satu abad sebelum pemerintah Hindia Belanda dibawah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830, karena Hindia Belanda mengalami krisis finansial akibat Perang Diponegoro (1825-1830).

    Salah satu kewajiban utama para Bupati di Priangan terhadap VOC adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman kopi, dan menyerahkan hasilnya ke VOC. Dalam sistem ini, baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh VOC. Para bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya, dan tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan pengawas daerah Cirebon-Priangan.

    Berdirinya Kota Bandung

    Pada bulan Desember 1799, VOC mengalami kebangkrutan sehingga seluruh aset dan kekuasaannya diambil alih oleh Republik Batavia (1795-1806). Pada tahun 1806, Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte mendirikan Republik Batavia sebagai penerus Kerajaan Belanda, dengan mengangkat adiknya, Louis Napoleon (Lodewijk Napoleon), sebagai raja.

    Untuk mempertahankan wilayah koloninya dari ancaman Inggris, Louis Napoleon mengangkat seorang yang berpengalaman dalam militer bernama Herman Willem Daendels sebagai Gubernur jenderal Hindia Belanda antara tahun 1808-1811, dengan misi utama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels berpendapat bahwa mobilisasi darat lebih sesuai untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, sebab Inggris mempunyai kekuatan armada laut yang unggul pada saat itu. Oleh karena itu salah satu misinya adalah membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang membentang menghubungkan Anyer di ujung barat Pulau Jawa hingga Panarukan di ujung timur Jawa sepanjang 1000 km.

    Jalan Raya Pos berdampak besar, tidak hanya terhadap perkembangan pulau Jawa secara umum namun juga kota-kota yang dilaluinya. Bandung salah satu contohnya. Pada awalnya, Jalan Raya Pos berjarak 11 km di utara Krapyak, ibu kota Kabupaten Bandung saat itu. Daendels memerintahkan kepada Bupati Bandung ke-6, R.A. 

    Wiranatakusumah II (1794-1829) untuk membangun ibu kota Bandung yang baru di sekitar jalan tersebut. Ucapan Daendels yang terkenal adalah: “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd” (Usahakan, bila saya datang kembali kesini, sebuah kota telah dibangun).

    Wiranatakusumah II kemudian memilih sebuah lokasi di dekat sumber mata air yang bernama Sumur Bandung. Dalam Bahasa Sunda, Sumur Bandung berarti sumur yang berpasangan atau berhadapan (dari kata bandungan). Kedua sumur tersebut berada di tepi barat Sungai Cikapundung. Satu sumur terletak di Bale Sumur Bandung atau Gedung PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten, Jalan Asia Afrika. Sedangkan sumur lainnya berada di bawah bangunan bekas kompleks pertokoan Miramar, Alun-alun Bandung.

    Sesuai dengan konsep tata ruang tradisional, Bupati R.A. Wiranatakusumah II dan sejumlah rakyatnya membangun Pendopo di sisi selatan Alun-alun Bandung, menghadap ke arah Gunung Tangkuban Parahu yang merupakan simbol kepercayaan sejarah masyarakat Sunda. Sedangkan Masjid Agung Bandung (sekarang Masjid Raya Bandung) dibangun di sisi barat alun-alun, dan pasar terletak di sisi timur.

    Dengan sebuah besluit pemerintahan Hindia Belanda tanggal 25 September 1810, Kota Bandung dinyatakan sebagai ibu kota Kabupaten Bandung, sehingga tanggal 25 September ditetapkan sebagai hari jadi Kota Bandung.

    Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874) yang dikenal dengan julukan Dalem Bintang, ibu kota Karesidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung berdasarkan besluit Nomor 18 tanggal 17 Agustus 1864. Rumah Residen Priangan yang terletak di Resident Swag (Jalan Pasar Baru, sekarang Jalan Otto Iskandardinata) dibangun tahun 1867, sedangkan Kantor Residen Priangan dibangun di sisi timur Hotel Post Road yang kemudian menjadi Hotel Savoy Homann.

    Pada tanggal 1 April 1906 Gubernur Jenderal J.B. Van Heutz dengan ordonansi tanggal 2 Februari 1906 yang diundangkan tanggal 1 Maret 1906 menetapkan Kota Bandung ditingkatkan statusnya menjadi Pemerintah Kota (Gemeente). Sejak itulah Kota Bandung resmi lepas dari Kabupaten Bandung, walaupun ibu kota Kabupaten Bandung masih terletak di Kota Bandung.

  • Daerah Khusus Ibukota Jakarta

    Daerah Khusus Ibukota Jakarta

    Jakarta, secara resmi bernama Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau DKI Jakarta, sebelumnya dikenal sebagai Batavia adalah ibu kota Indonesia dan sekaligus daerah otonom setingkat provinsi. Jakarta memiliki lima kota administrasi dan satu kabupaten administrasi. Sementara itu menurut pengertian secara umum, Jakarta disebut sebagai kota metropolitan. Jakarta terletak di pesisir bagian barat laut Pulau Jawa. Jakarta mendapat julukan The Big Durian karena dianggap kota yang sebanding dengan Kota New York (Big Apple) di Amerika Serikat.

    Jakarta memiliki luas sekitar 664,01 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 11.135.191 jiwa pada pertengahan tahun 2024. Sebagai pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, Jakarta merupakan tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor sekretariat ASEAN. Jakarta dilayani oleh dua bandar udara, yaitu Bandara Internasional Soekarno–Hatta di Kota Tangerang, Banten dan Bandara Halim Perdanakusuma, serta dua pelabuhan laut, yaitu Tanjung Priok dan Sunda Kelapa

    Etimologi

    Daerah ini sudah beberapa kali berganti nama dalam beberapa periode yang tercantum sebagai berikut.

    • Sunda Kelapa (397—1527)
    • Jayakarta (1527—1619)
    • Batavia (1619—1942)
    • Djakarta Tokubetu Si (ジャカルタ特別市, Kunrei-shiki: Djakarta Tokubetu Si, Hepburn: Jakarta tokubetsushi) (1942—1945)
    • Djakarta (1945—1972)
    • Jakarta (1972—sekarang)

    Propaganda Jepang yang menekankan “Indonesia Raya”, sebuah lagu dengan status yang setara dengan “Kimigayo” sebagai lagu kebangsaan Indonesia secara De facto pada Masa Pendudukan Jepang.

    Nama “Jakarta” sudah digunakan sejak masa pendudukan Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Nama “Jakarta” merupakan kependekan dari kata Jayakarta (aksara Dewanagari: जयकृत), yang berasal dari kata bahasa Sanskerta जय jaya (kemenangan), dan कृत krta (kemakmuran), sehingga Jayakarta sehingga berarti “kota kejayaan dan kemakmuran”. Nama itu diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan berhasil menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527 dari Portugis.

    Nama ini diterjemahkan sebagai “kota kemenangan” atau “kota kejayaan”. Namun, sejatinya berarti “kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha” karena berasal dari dua kata Sanskerta yaitu Jaya (जय) yang berarti “kemenangan” dan Karta (कृत) yang berarti “dicapai”.

    Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Seja Rowan Portugis, João de Barros, dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan “Xacatara dengan nama lain Karavam (Karawang)”.

    Sebuah dokumen (piagam) dari Banten (k. 1600) yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten dan Sajarah Banten (pupuh 45 dan 47) sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta)

    Sejarah

    Sunda Kelapa (397–1527)

    Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kelapa (Aksara Sunda: ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮊᮜᮕ), berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kelapa selama dua hari perjalanan.

    Menurut sumber Portugis, Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern, dayeuh berarti “ibu kota”) dalam tempo dua hari.

    Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura (bahasa Sanskerta yang berarti “Kota Sunda”).Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu

    Jayakarta (1527–1619)

    Bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.

    Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, dimana Surawisesa diselesaikan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya.

    Namun, sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, walikota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan pendudukan Pelabuhan Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada tahun 1527.

    Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta (aksara Dewanagari: जयकृत) yang berarti “kota kemenangan”, Jayakarta berasal dari dua kata Sanskerta yaitu Jaya (जय) yang berarti “kemenangan”dan Karta (कृत) yang berarti “dicapai”. Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.

    Batavia (1619–1942)

    Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia.

    Pada 5 Januari 1699, Batavia dilanda gempa bumi berkekuatan 7,4 hingga 8,0 Mw berpusat di wilayah Selat Sunda, hingga menyebabkan kerusakan meluas dan menewaskan 128 orang.

    Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. (Lihat Batavia). Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi.

    Saat itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum.

    Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolonialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.

    Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan.

    Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja (gemeente), yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.

    Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java di samping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon

    Djakarta (1942–1945)

    Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Jakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949

    Jakarta (1945–sekarang)

    Sejak kemerdekaan sampai sebelum tahun 1959, Djakarta adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Jakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah walikota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno.

    Pada tahun 1961, status Djakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI, sekarang dieja Daerah Khusus Ibukota/DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno

    Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat permukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.

    Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat permukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.

    Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai “kota tertutup” bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.

    Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan

    Geografi

    Jakarta berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara Ciliwung, Teluk Jakarta. Seluruh wilayah Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter dpl dengan titik tertinggi Jakarta adalah 91 meter dpl berada di Kawasan Buperta Cibubur, Cipayung, Jakarta Timur yang merupakan ujung terendah dari formasi dataran Jonggol-Jatiluhur. Sementara titik terendahnya yaitu -1 meter dpl dengan lokasi di wilayah Muara Baru dan Pluit, Jakarta Utara di mana daerah tersebut mengalami fenomena penurunan tanah sejak lama. Karena berada di dataran rendah, mengakibatkan banyak dari wilayah sering dilanda banjir, terlebih sebelah selatan Jakarta merupakan daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting adalah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan provinsi Banten.

    Kepulauan Seribu adalah kabupaten administratif yang terletak di Teluk Jakarta, seluruh wilayahnya berbentuk gugusan kepulauan, dengan 105 pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara Teluk Jakarta.

    Iklim

    Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau beriklim tropis. Terletak di bagian barat Indonesia, mengalami puncak musim penghujan pada bulan Januari dan Februari dengan rata-rata curah hujan 350 milimeter dengan suhu rata-rata 27 °C. Curah hujan antara bulan Januari dan awal Februari sangat tinggi, pada saat itulah Jakarta dilanda banjir setiap tahunnya, dan puncak musim kemarau pada bulan Agustus dengan rata-rata curah hujan 60 milimeter . Bulan September dan awal Oktober adalah hari-hari yang sangat panas di Jakarta, suhu udara dapat mencapai 40 °C .Suhu rata-rata tahunan berkisar antara 25°-38 °C (77°-100 °F)

    Pemerintahan

    Dasar hukum bagi DKI adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007, tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU ini menggantikan UU Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta serta UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta yang keduanya tidak berlaku lagi.

    DKI memiliki status khusus sebagai Daerah Khusus Ibukota setingkat provinsi dan dipimpin oleh seorang gubernur. Berbeda dengan provinsi lainnya, DKI Jakarta hanya memiliki pembagian di bawahnya berupa lima kota administratif, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan serta satu kabupaten administratif, yaitu Kabupaten Kepulauan Seribu yang tidak memiliki perwakilan rakyat tersendiri

    Gubernur

    Pemerintah daerah

    Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota adalah Gubernur dan perangkat daerah Provinsi DKI Jakarta sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.

    Perwakilan di DPR RI dan DPD RI

    DKI Jakarta memiliki 21 perwakilan di DPR (dari tiga daerah pemilihan) dan empat orang untuk DPD. Keempat anggota DPD untuk periode 2019-2024 adalah Jimly Asshiddiqie; Sabam Sirait; Fahira Fahmi Idris; dan Sylviana Murni. Selain itu berdasarkan hasil Pemilu Legislatif 2019, DPRD Jakarta memperoleh total 106 kursi yang didominasi oleh PDIP (25 kursi), Partai Gerindra (19 kursi) dan PKS (16 kursi). Pimpinan DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019 terdiri dari Prasetyo Edi Marsudi (Ketua; PDI-P), Muhammad Taufik (Wakil Ketua; Gerindra), Abdurrahman Suhaimi (Wakil Ketua; PKS), Misan Samsuri (Wakil Ketua; Demokrat), dan Zita Anjani (Wakil Ketua; PAN) yang resmi dilantik pada tanggal 14 Oktober 2019

    Kedutaan besar

    Di Jakarta terdapat 77 kedutaan besar negara-negara sahabat. Sebagian besar kedutaan ini terletak di kawasan bisnis . Beberapa kedutaan besar negara-negara sahabat, sempat diancam oleh bom, yakni Kedutaan Besar Australia dan Kedutaan Besar Filipina. Kedutaan Besar Amerika Serikat, Inggris, dan Malaysia kerap menjadi tempat berdemonstrasi warga, yang memprotes kebijakan internasional negara tersebut.

    Demografi

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DKI tahun 2021, jumlah penduduk Jakarta adalah 11.100.929 jiwa (2020). Namun pada siang hari, angka tersebut dapat bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok.

    Agama

    Agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Menurut data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta tahun 2020, persentase penduduk berdasarkan agama yang dianut adalah Islam (83,68%), lalu Kristen (12,53%) dimana (Protestan 8,60 % & Katolik 3,93%), Buddha (3,59%), Hindu (0,16%), Konghucu (0,03%), dan agama lainnya (0,01%).

    Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, di mana umat Islam berjumlah 84,4%, diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Budha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%) Menurut Cribb, pada tahun 1971 penganut agama Konghucu secara relatif adalah 1,7%. Pada tahun 1980 dan 2005, sensus penduduk tidak mencatat agama yang dianut selain keenam agama yang diakui pemerintah.

    Berbagai tempat peribadatan agama-agama dunia dapat dijumpai di Jakarta. Masjid dan mushola, sebagai rumah ibadah umat Islam, tersebar di seluruh penjuru kota, bahkan hampir di setiap lingkungan. Masjid terbesar adalah masjid nasional, Masjid Istiqlal, yang terletak di Gambir. Sejumlah masjid penting lain adalah Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru, Masjid At Tin di Taman Mini, dan Masjid Sunda Kelapa di Menteng. Pada tahun 2017, Pemerintah Provinsi DKI membuka Masjid Raya KH Hasyim Asy’ari di daerah Kalideres yang dioperasikan oleh Pemprov.

    Sedangkan gereja besar yang terdapat di Jakarta antara lain, Gereja Katedral Jakarta, Gereja Santa Theresia di Menteng, dan Gereja Santo Yakobus di Kelapa Gading untuk umat Katolik.

    Suku bangsa

    Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, tercatat bahwa penduduk Jakarta berjumlah 9.547.541 jiwa yang terdiri dari orang Jawa sebanyak (36,17%), Betawi (28,29%), Sunda (14,61%), Tionghoa (6,62%), Batak (3,42%), Minang (2,85%), Melayu (0,96%), Madura (0,84%), Bugis (0,71%), Lampung (0,47%), asal Maluku (0,47%), Makassar (0,31%), Minahasa (0,39%), Aceh (0,32), asal NTB (0,26%), asal NTT (0,31%), Bali (0,16%), dan suku lainnya.

    Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta, selalu berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa adalah etnis terbesar dengan populasi 35,16% penduduk kota. Etnis Betawi berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Pembangunan Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak menggusur perkampungan etnis Betawi ke pinggiran kota. Pada tahun 1961, orang Betawi masih membentuk persentase terbesar di wilayah pinggiran seperti Cengkareng, Kebon Jeruk, Pasar Minggu, dan Pulo Gadung

    Jumlah orang Jawa banyak di Jakarta karena ketimpangan pembangunan antara daerah dan Jakarta. Sehingga orang Jawa mencari pekerjaan di Jakarta. Hal ini memunculkan tradisi mudik setiap tahun saat menjelang Lebaran yaitu orang daerah di Jakarta pulang secara bersamaan ke daerah asalnya. Jumlah mudik lebaran yang terbesar dari Jakarta adalah menuju Jawa Tengah. Secara rinci prediksi jumlah pemudik tahun 2104 ke Jawa Tengah mencapai 7.893.681 orang. Dari jumlah itu didasarkan beberapa kategori, yakni 2.023.451 orang pemudik sepeda motor, 2.136.138 orang naik mobil, 3.426.702 orang naik bus, 192.219 orang naik kereta api, 26.836 orang naik kapal laut, dan 88.335 orang naik pesawat.

    Per 2014, menurut data Kementerian Perhubungan Indonesia menunjukkan tujuan pemudik dari Jakarta adalah 61% Jateng, 39% Jatim dan 10% daerah lain. Ditinjau dari profesinya, 28% pemudik adalah karyawan swasta, 27% wiraswasta, 17% PNS/TNI/POLRI, 10% pelajar/mahasiswa, 9% ibu rumah tangga dan 9% profesi lainnya. Diperinci menurut pendapatan pemudik, 44% berpendapatan Rp3-5 Juta, 42% berpendapatan Rp1-3 Juta, 10% berpendapatan Rp5-10 Juta, 3% berpendapatan di bawah Rp1 Juta dan 1% berpendapatan di atas Rp10 Juta.

    Orang Tionghoa telah hadir di Jakarta sejak abad ke-17. Mereka biasa tinggal mengelompok di daerah-daerah permukiman yang dikenal dengan istilah Pecinan. Pecinan atau Kampung Cina dapat dijumpai di Glodok, Pinangsia, dan Jatinegara, selain perumahan-perumahan baru di wilayah Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter. Orang Tionghoa banyak yang berprofesi sebagai pengusaha atau pedagang. Di samping etnis Tionghoa & etnis Minangkabau juga banyak yang berdagang, di antaranya perdagangan grosir dan eceran di pasar-pasar tradisional kota Jakarta. Selain etnis Tionghoa dan Minangkabau, ada juga etnis Arab, India, Banjar, Melayu & Bugis yang beradu nasib di Jakarta. Etnis Arab biasanya berdagang parfum, peci, mukena, sarung, karpet, dan kurma.

    Masyarakat dari Indonesia Timur, terutama etnis Bugis, Makassar, Manado (Minahasa), dan Ambon, terkonsentrasi di wilayah Tanjung Priok. Di wilayah ini pula, masih banyak terdapat masyarakat keturunan Portugis, serta orang-orang yang berasal dari Luzon, Filipina

    Ekonomi

    Jakarta merupakan daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Saat ini, lebih dari 70% uang negara beredar di Jakarta.Perekonomian Jakarta terutama ditunjang oleh sektor perdagangan, jasa, properti, industri kreatif, dan keuangan. Beberapa sentra perdagangan di Jakarta yang menjadi tempat perputaran uang cukup besar adalah kawasan Tanah Abang dan Glodok. Kedua kawasan ini masing-masing menjadi pusat perdagangan tekstil serta dengan sirkulasi ke seluruh Indonesia. Bahkan untuk barang tekstil dari Tanah Abang, banyak pula yang menjadi komoditas ekspor. Untuk sektor keuangan, yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian Jakarta adalah industri perbankan dan pasar modal.

    Untuk industri pasar modal, pada bulan Mei 2013 Bursa Efek Indonesia tercatat sebagai bursa yang memberikan keuntungan terbesar, setelah Bursa Efek Tokyo.Pada bulan yang sama, kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia telah mencapai USD 510,98 miliar atau nomor dua tertinggi di kawasan ASEAN.Sebagai pusat perekonomian Indonesia, Jakarta bukan sebagai pusat perdagangan dari penjuru wilayah, tetapi Jakarta juga memfasilitasi pembangunan ekonomi di sebagian besar Jawa Barat, sebagian Banten,  sebagian barat Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Pulau Sumatra.

    Pada tahun 2012, pendapatan per kapita masyarakat Jakarta sebesar Rp 110,46 juta per tahun (USD 12,270). Sedangkan untuk kalangan menengah atas dengan penghasilan Rp 240,62 juta per tahun (USD 26,735), mencapai 20% dari jumlah penduduk. Di sini juga bermukim lebih dari separuh orang-orang kaya di Indonesia dengan penghasilan minimal USD 100,000 per tahun. Kekayaan mereka terutama ditopang oleh kenaikan harga saham serta properti yang cukup signifikan. Saat ini

    Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan harga properti mewah yang tertinggi di dunia, yakni mencapai 38,1%.

    Selain hunian mewah, pertumbuhan properti juga ditopang oleh penjualan dan penyewaan ruang kantor. Pada periode 2009-2012, pembangunan gedung-gedung pencakar langit (di atas 150 meter) di Jakarta mencapai 87,5%, dari 40 gedung pada tahun 2009 menjadi 75 gedung pada tahun 2012. Hal ini telah menempatkan sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan pencakar langit tercepat di dunia. Pada tahun 2020, diperkirakan jumlah pencakar langit di akan mencapai 250 unit. Dan pada saat itu Jakarta telah memiliki gedung tertinggi di Asia Tenggara dengan ketinggian mencapai 638 meter 

    Lingkungan

    Taman kota

    memiliki banyak taman kota yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Taman Monas atau Taman Medan Merdeka merupakan taman terluas yang terletak di jantung Jakarta. Di tengah taman berdiri Monumen Nasional yang dibangun pada tahun 1963. Taman terbuka ini dibuat oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1870) dan selesai pada tahun 1910 dengan nama Koningsplein. Di taman ini terdapat beberapa ekor kijang dan 33 pohon yang melambangkan 33 provinsi di Indonesia.

    Taman Suropati terletak di kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Taman berbentuk oval dengan luas 16,322 m2 ini, dikelilingi oleh beberapa bangunan Belanda kuno. Di taman tersebut terdapat beberapa patung modern karya artis-artis ASEAN, yang memberikan sebutan lain bagi taman tersebut, yaitu “Taman persahabatan seniman ASEAN”.

    Taman Lapangan Banteng merupakan tanaman lain yang terletak di Gambir, Jakarta Pusat. Luasnya sekitar 4,5 ha. Di sini terdapat Monumen Pembebasan Irian Barat. Pada tahun 1970-an, taman ini digunakan sebagai terminal bus. Kemudian pada tahun 1993, taman ini kembali diubah menjadi ruang publik, tempat rekreasi, dan juga kadang-kadang sebagai tempat pertunjukan seni.

    Taman Menteng, yang terletak di jantung Jakarta Pusat, adalah salah satu contoh terbaik dari ruang terbuka hijau di kota metropolitan ini. Dikenal sebagai salah satu ikon hijau di Jakarta, taman ini menawarkan berbagai fasilitas yang membuatnya menjadi tempat favorit bagi warga kota untuk bersantai, berolahraga, dan menikmati waktu bersama keluarga.

    Taman Menteng berdiri di atas lahan yang dulu merupakan Stadion Menteng, sebuah lapangan sepak bola yang bersejarah bagi banyak warga . Pada tahun 2007, stadion ini direnovasi menjadi taman kota sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan ruang hijau di Jakarta. Transformasi ini tidak hanya mempertahankan warisan sejarah tetapi juga memberikan wajah baru yang lebih ramah lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat.

    Tebet Eco Park, yang resmi dibuka pada tahun 2022, adalah salah satu taman kota terbaru di Jakarta Selatan yang segera menjadi sorotan dan kebanggaan bagi warga kota. Dengan konsep ekologis dan ramah lingkungan, taman ini menawarkan ruang hijau yang luas dan fasilitas modern, menjadikannya destinasi populer bagi mereka yang mencari kesejukan dan ketenangan di tengah hiruk-pikuk kota

    Sebelum menjadi Tebet Eco Park, area ini dikenal sebagai Taman Tebet. Renovasi besar-besaran yang dilakukan pada tahun 2021 hingga 2022 mengubah taman ini menjadi ruang publik yang lebih ramah lingkungan dan multifungsi. Pemerintah DKI berkomitmen untuk menyediakan lebih banyak ruang terbuka hijau, dan pembukaan Tebet Ecopark adalah bukti nyata dari komitmen tersebut. Dengan luas lebih dari 7 hektar, taman ini dirancang untuk mengakomodasi berbagai aktivitas sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan

    Pendidikan

    Di DKI Jakarta tersedia sarana pendidikan dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Fasilitas dari sarana pendidikan sangat bervariasi dari gedung mewah dengan pendingin udara sampai yang sederhana.

    Belakangan ini  mulai muncul berbagai sekolah dengan kurikulum yang diserap dari negara lain seperti Singapura dan Australia. Sekolah lain dengan kurikulum Indonesia pun juga muncul dengan metode pengajaran yang berbeda, seperti Sekolah Dasar Islam Terpadu. Selain sekolah yang didirikan oleh pemerintah, banyak pula sekolah yang dikembangkan oleh pihak swasta, seperti Al-Azhar, Muhammadiyah, BPK Penabur, Kolese Kanisius, Don Bosco, Tarakanita, Pangudi Luhur, Santa Ursula, Regina Pacis dan Marsudirini.

    Kebudayaan

    Budaya merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari berbagai etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

    Jakarta merupakan daerah tujuan urbanisasi berbagai ras di dunia dan berbagai suku bangsa di Indonesia, untuk itu diperlukan bahasa komunikasi yang biasa digunakan dalam perdagangan yaitu Bahasa Melayu. Penduduk asli yang berbahasa Sunda pun akhirnya menggunakan bahasa Melayu tersebut.

    Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng, dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

    Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Melayu dialek Betawi. Untuk penduduk asli di Kampung Jatinegara Kaum, mereka masih kukuh menggunakan bahasa leluhur mereka yaitu bahasa Sunda.

    Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Batak, Madura, Bugis, Inggris dan Tionghoa. Hal demikian terjadi karena Jakarta adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu. Untuk berkomunikasi antar berbagai suku bangsa, digunakan Bahasa Indonesia.

    Selain itu, muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda dengan kata-kata yang kadang-kadang dicampur dengan bahasa asing. Bahasa Inggris adalah bahasa asing yang paling banyak digunakan, terutama untuk kepentingan diplomatik, pendidikan, dan bisnis. Bahasa Mandarin juga menjadi bahasa asing yang banyak digunakan, terutama di kalangan pebisnis Tionghoa.

    Pariwisata

    Jakarta merupakan salah satu destinasi wisata yang cukup baik di Indonesia. Untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Jakarta, pemerintah mengadakan program “Enjoy Jakarta”. Beberapa tempat pariwisata yang terkenal dan biasa dikunjungi oleh para wisatawan lokal dan mancanegara di antaranya adalah Taman Mini Indonesia Indah, Pulau Seribu, Kebun Binatang Ragunan, dan Taman Impian Jaya Ancol (termasuk taman bermain Dunia Fantasi dan Seaworld Indonesia). Disamping itu Jakarta juga memiliki banyak tempat wisata sejarah, yakni berupa museum dan tugu. Diantaranya adalah Museum Gajah, Museum Fatahillah, dan Monumen Nasional. Disamping tempat wisatanya yang memadai, saat ini di Jakarta telah tersedia sekitar 219 hotel berbintang, 3.173 restoran, dan 40 balai pertemuan. Hampir semua jaringan hotel kelas dunia telah membuka gerainya di Jakarta, seperti JW Marriott Jakarta, The Ritz-Carlton Jakarta, Shangri-La Hotel, dan Grand Hyatt Jakarta.

    Makanan

    jakarta merupakan kota internasional yang banyak menyajikan makanan khas dari seluruh dunia. Di wilayah-wilayah yang banyak didiami oleh para ekspatriat asing, seperti di daerah Menteng, Kemang, Pondok Indah, dan daerah pusat bisnis Jakarta, tidak sulit untuk menjumpai makanan-makanan khas asal Eropa, China, Jepang dan Korea. Makanan-makanan ini biasanya dijual dalam restoran-restoran mewah.

    Di Jakarta dan seperti kota-kota lainnya di Indonesia, Rumah Makan Padang adalah restoran yang paling banyak dijumpai. Hampir di setiap sudut kota, dengan mudahnya dijumpai rumah makan yang menyajikan masakan asal Minangkabau ini. Selain masakan Minang, Jakarta juga memiliki makanan khasnya. Yang paling terkenal adalah Kerak Telor, Soto Betawi, Kue Ape, Roti Buaya, Combro, dan Nasi Uduk. Sebagai wilayah kancah peleburan yang mempertemukan berbagai etnis di Indonesia, di sini juga bisa ditemukan berbagai macam makanan tradisional dari daerah lainnya, seperti Rawon, Rujak Cingur, dan Kupang Lontong. Di Jakarta juga terdapat Warung Tegal jumlahnya ada lebih dari 34.000 warung di Jabodetabek